Friday 10 December 2010

Kuliah MASAF (4): Langkah-langkah menuju kejayaan: Shariah-Compliance?

Alhamdulillahi Rabbil A’lamin, Wa solatu Wassalam Ala Rasul

Saudara saudari sidang pendengar yang dimuliakan,

Alhamdulillah, bersyukur ke hadrat Allah SWT kerana kita berkesempatan lagi untuk bersama di dalam program kuliah online MASAF ini. Semoga keberadaan kita di dalam program seumpama ini akan membawa manfaat yang hebat di dalam peningkatan iman dan ketaqwaan kita kepada Allah Rabbul Jalil. InsyALlah.

Saya mengharapkan perkara-perkara yang telah kita bicarakan di dalam siri kuliah online ini akhirnya dapat diterjemahkan di dalam bentuk amal yang praktik, dan membantu kita semua untuk menjadi hamba Allah SWT yang lebih baik daripada yang sebelum-sebelum ini.

InsyAllah pada minggu kita akan berbicara tentang tajuk langkah-langkah menuju kejayaan, yang shariah-compliance. Atau dalam bahasa lebih mudah langkah-langkah untuk mencapai kejayaan yang bertepatan dengan piawaian shariah atau landasan agama.

Saudara saudari sidang pendengar yang dikasihi,

Di dalam kehidupan ini semua kita hendakkan kejayaan atau kebahagiaan. Kejayaan dunia dan ukhrawi adalah sasaran kita yang beriman dengan Allah SWT dan Ar-Rasul SAW. Dan sememangnya tidaklah Islam menghalang umatnya berjaya, malah kejayaan adalah natijah tabie bagi mereka yang benar-benar beriman dengan Allah SWT.

Dalam dunia hari ini kejayaan boleh datang dalam pelbagai bentuk, rupa dan cara. Kejayaan hebat bagi seorang mungkin tidak membawa apa-apa makna bagi seorang yang lain. Kejayaan duniawi memang terbuka kepada pelbagai interpretasi manusia. Tetapi kejayaan ukhrawi atau di akhirat nanti adalah amat jelas dan mudah. Tidak memerlukan kepada tafsiran atau diteorikan. Mereka yang berjaya mendapat keredhoan Allah SWT, merekalah yang mendapat kejayaan. Manakala mereka yang mendapat murka Allah SWT, merekalah makhluk yang paling rugi. Ini dinyatakan dengan jelas di dalam banyak ayat-ayat Allah SWT.

Allah berfirman :“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali Imran : 102)

Dan Allah berfirman : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (An-Nisa : 1)

Dan Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar. (Al-Ahzab : 70-71)

Bahwa tercapainya umat islam saat ini menuju kemenangan dan kejayaan bukanlah perkara yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang mustahil, sekalipun ada usaha penyempitan yang bagitu dahsyat dan perang yang terus menerus atas Islam dan umat Islam, namun banyak dari kalangan umat islam yang melihat bahwa kejayaan agama Allah berada pada dua busur yang sama atau dekat sekali, sekalipun musuh-musuh memandang bahwa kejayaan Islam sangatlah jauh bahkan mustahil, namun seorang muslim harus percaya pada janji Allah bahwa bumi ini akan diwariskan kepada hamba-Nya yang shalih. Bahwa ini bukanlah mimpi dan angan-angan belaka, namun merupakan pintu tsiqoh kepada Allah dan yakin akan janji-Nya.

Namun banyak kalangan ulama yang telah menyampaikan melalui khutbah-khutbah dan ceramah mereka akan permasalahan umat ini, kerusakan yang terjadi disekitarnya dengan bentuk menyebarkan keputus asaan dan menutup pintu cita-cita dihadapan generasi umat yang memliki kecemburuan yang tinggi, sehingga menyebarlah ruh kekalahan dalam barisan mereka, dan tidak heran banyak yang mengatakan:

Apa yang dapat kita lakukan?

Sebagaimana juga kita temukan bahwa Al-Quran telah mengisyaratkan sebab-sebab kejayaan secara maknawi (spiritual) dan maadi (material) seperti firman Allah :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)…(Al-Anfal : 60)

dan Al-Quran mengisyaratkan syarat-syarat kejayaan dalam firman Allah :

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nuur : 55)

Al-Quran juga menyebutkan kejayaan Allah yang dipersembahkan kepada Dzulkarnain, sifat-sifat rabbaninya dan tasyakkurnya terhadap nikmat kejayaan, Allah berfirman : “Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan kami Telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu” (Al-Kahfi : 84) dan firman Allah : “Dzulkarnain berkata: “Apa yang Telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, Maka tolonglah Aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar Aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka”. (Al-Kahfi : 95)

Al-Quran juga menyebutkan sifat-sifat generasi penerus kejayaan, Allah berfirman :

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela”. (Al-Maidah : 54)

Begitupun kisah nabi Muhammad saw dalam menerapkan kerja fiqh kejayaan, dengan mempelajari dan menelaah sirah nabi secara teliti dan mendetail. Sejarah para khulfa rasyidin, karena zaman mereka merupakan madrasah yang sangat penting dalam penerapan fiqh ini. Sebagaimana teradapat juga gerakan-gerakan Islam yang memberikan pengaruh yang sangat besar pada periode dua abad yang lampau yang mewariskan karakter yang sangat jelas akan fiqh kejayaan yang telah diwariskan oleh gerakan-gerakan Islam modern sambil berusaha menampakkan fiqh kejayaan dan metode-metode reformasi dan perubahan yang dijadikan model dalam usaha mengembalikan kejayaan islam pada masa sekarang ini.

Makna kejayaan secara bahasa

kata kejayaan adalah arti dari kata bahasa arab At-Tamkin, yaitu bentuk masdar (kata jadian) dari kata “makkana” yang terdiri dari tiga huruf (mim, kaf dan nun) dan darinya terbentuk kata “Amkanahu’ yang berarti memberikan kedudukan seseorang dari sesuatu, dan menempatkan fulan dari sesuatu, dan fulan tidak “yumkinuhu” (memungkinkan) untuk bangkit yaitu tidak memiliki kemampuan atasnya.

Dan dari kata kata “al-makinnah” (memiliki kedudukan) berarti kejayaan; orang arab berkata: Sesungguhnya bani fulan memiliki kedudukan akan jabatan atau juga kata “tamakkana”. (memiliki posisi). Orang arab menamakan tempat (sarang burung) dengan makinnah, karena burung berkedudukan didalamnya.

Dan kata al-makanah menurut orang arab adalah kedudukan dalam kerajaan, pluralnya adalah makanaat, tidak dipluralkan dalam bentuk taksir, sungguh dia telah memiliki kedudukan maka mantaplah dia dalam posisi tersebut (makin), pluralnya mukna, dan kata numakkina – tamakkan, sedangkan kata al-mutamakkin adalah bagian dari nama : yang menerima ketinggian dan kedudukan serta kekuasaan.

Maka kata Tamkin (kejayaan) secara bahasa adalah kekuasaan dan kedudukan (raja). Allah telah mengisyaratkan dalam firman-Nya tentang Dzul Qornain : “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-kahfi : 84)

Maknanya adalah bahwa Allah telah memberikan kedudukan dan kekuasan kepada hamba yang shalih di muka bumi, memberikan kekuasaan yang kuat, memberikan kemudahan kepadanya segala sarana yang mendukung kekuasaannya, memberikan segala potensi yang dapat digunakan untuk memperkokoh dan melanggengkan kekuasaannya.

Makna Tamkin (Kejayaan) menurut istilah

kata tamkin menurut istilah ulama adalah mempelajari berbagai macam kedudukan (kekuasaan), syarat-syaratnya, sebab-sebabnya, tahapan-tahapannya, tujuan-tujuannya dan rintangan yang akan dihadapinya serta pilar-pilar kembalinya umat menuju kedudukan,kekuasaan dan kedudukan dimuka bumi ini.

[Q: Jadi, pada kita; apakah erti dan makna kejayaan?]

Saudara Saudari yang dihormati,

Jika kita merenung tafsiran surah An-Nasr, maka dapatlah kita memahami adab atau kaifiat untuk mendapatkan kejayaan dan bagaimana meraikannya. Allah SWT berfirman:

1. Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan (semasa Engkau Wahai Muhammad berjaya Menguasai negeri Makkah), -

2. Dan Engkau melihat manusia masuk Dalam ugama Allah beramai-ramai, -

3. Maka Ucapkanlah tasbih Dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepadaNya, Sesungguhnya Dia amat menerima taubat.

[Sila rujuk Tafsir Al-Maududi]

Period of Revelation

Hadrat Abdullah bin Abbas states that this is the last Surah of the Quran to be revealed, i. e. no complete Surah was sent down to the Holy Prophet after it. (Muslim Nasai, Tabarani, Ibn Abi Shaibah, Ibn Marduyah).

According to Hadrat Abdullah bin Umar, this Surah was sent down on the occasion of the Farewell Pilgrimage in the middle of the Tashriq Days at Mina, and after it the Holy Prophet rode his she camel and gave his well known Sermon. (Tirmidhi, Bazzar, Baihaqi, Ibn Abi Shaibah, Abd bin Humaid, Abn Yala, Ibn Marduyah). Baihaqi in Kitab al- Hajj has related from the tradition of Hadrat Sarra bint-Nabhan the Sermon which the Holy Prophet gave on this occasion. She says:

"At the Farewell Pilgrimage I heard the Holy Prophet say: O people, do you know what day it is? They said: Allah and His Messenger have the best knowledge. He said: This is the middle day of the Tashriq Days. Then he said: Do you know what place it is? They said: Allah and His Messenger have the best knowledge. He said: This is Masharil-Haram. Then he said: I do not know, I might not meet you here again. Beware, your bloods and your honors are forbidden, until you appear before your Lord, and He questions you about your deeds. Listen: let the one who is near convey it to him who is far away. Listen: have I conveyed the message to you? Then, when we returned to Madinah, the Holy Prophet passed away not many days after that."

If both these traditions are read together, it appears that there was an interval of three months and some days between the revelation of Surah An-Nasr and the Holy Prophet's death, for historically the same was the interval between the Farewell Pilgrimage and the passing away of the Holy Prophet.

Ibn Abbas says that when this Surah was revealed, the Holy Prophet said that he had been informed of his death and his time had approached. (Musnad Ahmad, Ibn Jarir, Ibn al-Mundhir, Ibn Marduyah). In the other traditions related from Hadrat Abdullah bin Abbas, it has been stated that at the revelation of this Surah the Holy Prophet understood that he had been informed of his departure from the world.(Musnad Ahmad, Ibn Jarir, Tabarani, Nasai, Ibn Abi Hatim, Ibn Marduyah).

Mother of the Believers, Hadrat Umm Habibah, says that when this Surah was revealed the Holy Prophet said that he would leave the world that year. Hearing this Hadrat Fatimah wept. Thereat he said: "From among my family you will be the first to join me." Hearing this she laughed.(Ibn Abi Hatim, Ibn Marduyah). A tradition containing almost the same theme has been related by Baihaqi from Ibn Abbas.

Ibn Abbas says: "Hadrat Umar used to invite me to sit in his assembly along with some of the important elderly Companions who had fought at Badr. This was not liked by some of them. They complained that they also had sons who were like the boy. Why then was he in particular invited to sit in the assembly? (Imam Bukhari and Ibn Jarir have pointed out that such a thing was said by Hadrat Abdur Rahman bin Auf).

Hadrat Umar said that the boy enjoyed the position and distinction because of his knowledge. Then one day he invited the Companions of Badr and called me also to sit with them. I understood that he had invited me to the assembly to prove his contention. During the conversation Hadrat Umar asked the Companions of Badr: "What do you say about Idha jaa nasrullahi wal- fath?" Some said: "In it we have been enjoined to praise Allah and ask for His forgiveness when His succor comes and we attain victory."Some others said that it implied the conquest of cities and forts. Some kept quiet. Then Hadrat Umar said: "Ibn Abbas, do you also say the same?"I said no. He asked: "What then is your view?"I submitted that it implied the last hour of Allah's Messenger (upon whom be peace); in it he was informed that when Allah's succor came and victory was attained, it would be a sign that his hour had come; therefore, he should praise Allah and ask for His forgiveness. Thereat Hadrat Umar said "I know naught but what you have said."

In another tradition there is the addition that, Hadrat Umar said to the Companions: "How can you blame me when you yourselves have seen why I invite this boy to join the assembly?" (Bukhari, Musnad Ahmad, Tirmidhi, Ibn Jarir, Ibn Marduyah, Baghawi, Baihaqi, Ibn al-Mundhir).

Theme and Subject Matter

As is shown by the above traditions, Allah in this Surah had informed His Messenger (upon whom be peace) that when Islam attained complete victory in Arabia and the people started entering Allah's religion in great numbers, it would mean that the mission for which he had been sent to the world, had been fulfilled. Then, he was enjoined to busy himself in praising and glorifying Allah by Whose bounty he had been able to accomplish such a great task, and should implore Him to forgive whatever failings and frailties he might have shown in the performance of the service. Here, by a little consideration one can easily see the great difference that there is between a Prophet and a common worldly leader. If a worldly leader in his own lifetime is able to bring about a revolution, which has the aim and objective of his struggle, this would be an occasion for exultation for him. But here we witness quite another phenomenon. The Messenger of Allah in a brief space of 23 years revolutionized an entire nation as regards its beliefs, thoughts, customs, morals, civilization, ways of living, economy, politics and fighting ability, and raising it from ignorance and barbarism enabled it to conquer the world and become leader of nations; yet when he had accomplished this unique task, he was not enjoined to celebrate it but to glorify and praise Allah and to pray for His forgiveness, and he busied himself humbly the implementation of that command.

Hadrat Aishah says: "The Holy Messenger (upon whom be peace) often used to recite Subhanak-Allahumma wa bi-hamdika astaghfiruka wa atubu ilaika (according to some other traditions, Subhan Allahi wa bi hamdi-hi as- taghfirullaha wa atubu ilaihi) before his death. I asked: O Messenger of Allah, what are these words that you have started reciting now? He replied: A sign has been appointed for me so that when I see it, I should recite these words, and it is: Idha jaa nasrullahi wal-fathu." (Musnad Ahmad, Muslim, Ibn Jarir, lbn al-Mundhir, Ibn Marduyah).

In some other traditions on the same subject Hadrat Aishah has reported that the Holy Prophet often recited the following words in his ruku and sajdah: Subhanak-Allahumma wa-bi hamdika, Allahumma- aghfirli. This was the interpretation of the Quran (i. e. of Surah An-Nasr) that he had made.(Bukhari, Muslim Abu Daud, Nasai, Ibn Majah, Ibn Jarir).

Hadrat Umm Salamah says that the Holy Prophet (upon whom be peace) during his last days very often recited the following words sitting and standing, going out of the house and coming back to it: Subhan Allahi wa-bi hamdi-hi. I one day asked: "Why do you recite these words so often? O Messenger of Allah". He replied: I have been enjoined to do so. Then he recited this Surah." (Ibn Jarir).

According to Hadrat Abdullah bin Masud, when this Surah was revealed, the Messenger of Allah (upon whom be peace) frequently began to recite the words Subhanak-Allahumma wa bi-hamdika, Allahumm-aghfirli, subhanaka Rabbana wa bi-hamdika, Allahumm-aghfirli, innaka anta at- Tawwab al-Ghafur.(Ibn Jarir, Musnad Ahmad, Ibn Abi Hatim).

Ibn Abbas has stated that after the revelation of this Surah the Holy Messenger (upon whom be peace) began to labor so intensively and devotedly hard for the Hereafter as he had never done before.

[1-3] When Allah's help comes and victory is attained.1 And (O Prophet,) you see that the people are entering into Allah's Religion in crowds.2 Then glorify your Lord with His praise,3and pray for His forgiveness.4 Indeed, He is ever inclined to accept repentance.

1Victory here does not imply victory in any one particular campaign but the decisive victory after which there remained no power in the land to resist and oppose Islam, and it became evident that Islam alone would hold sway in Arabia Some commentators have taken this to imply the Conquest of Makkah. But the conquest of Makkah took place iu A.H. 8, and this Surah was revealed towards the end of A.H.10, as is shown by the traditions related on the authority of Hadrat `Abdullah bin `Umar and Hadrat Sarra' bint Nabhan, which we have cited in the Introduction. Besides, the statement of Hadrat `Abdullah bin `Abbas that this is the last Surah of the Qur'an to be revealed, also goes against this commentary. For if the victory implied the conquest of Makkah, the whole of Surah at-Taubah was revealed after it then it could not be the last Surah. There is no doubt that the conquest of Makkah was decisive in that it broke the power of the Arabian pagans, yet even after this, they showed clear signs of resistance. The battles of Ta'if and Hunain were fought after it, and it took Islam about two years to attain complete control over Arabia.

2"You see ... in crowds": "When the time for the people to enter Islam in one's and two's comes to an end, and when whole tribes and people belonging to large tracts start entering it in crowds, of their own free will, and without offering battle or resistance." This happened from the beginning of A.H. 9, because of which that year has been described as the year of deputations. Deputations from every part of Arabia started coming before the Holy Messenger (upon whom be peace), entering Islam and taking the oath of allegiance to him, until when he went for the Farewell Pilgrimage to Makkah, in A.H. 10, the whole of Arabia had become Muslim, and not a single polytheist remained anywhere in the country.

3Hamd implies praising and hallowing Allah Almighty as well as thanking and paying obeisance to Him; tasbih means to regard Allah as pure and free from every blemish and weakness. The Holy Prophet was enjoined to do hamd and tasbih of Allah when he witnessed this manifestation of His power. Here, hamd means that in respect of his great success he should never entertain even a tinge of the idea that it was the result of any excellence of his own, but he should attribute it to Allah's favor and mercy, thank Him alone for it, and acknowledge with the heart and tongue that praise and gratitude for the victory and success belonged to Him alone. And tasbih means that he should regard Allah as pure and free from the limitation that exaltation of his Word stood in need of his effort and endeavor, or was dependent on it. On the contrary, his heart should be filled with the faith that the success of his effort and struggle was dependent upon Allah's support and succor. He could take this service from any of His servants He pleased. and it was His favor that He had taken it from him, and made His religion meet success through him. Besides, there is an aspect of wonder also in pronouncing the tasbih, i.e. Subhan Allah. When a wonderful incident takes place, one exclaims subhan-Allah, thereby implying that only by Allah's power such a wonderful thing had happened; otherwise no power of the world could have caused it to happen.

4"Pray for His forgiveness": "Pray to your Lord to overlook; and pardon whatever error or weakness you might have shown inadvertently in the performance of the service that He had entrusted to you," This is the etiquette that Islam has taught to man. A man might have performed the highest possible service to Allah's Religion, might have offered countless sacrifices in its cause, and might have exerted himself extremely hard in carrying out the rites of His worship, yet he should never entertain the thought that he has fulfilled the right his Lord had on him wholly. Rather he should always think that he has not been able to fulfill what was required of him, and he should implore Allah, saying: "Lord, overlook and forgive whatever weakness I might have shown in rendering Your right, and accept the little service that I have been able to perform." When such an etiquette was taught to the Holy Messenger (upon whom be peace), none in the world conceivably has toiled and struggled so hard in the cause of Allah as he did, how can another person regard his work as superb and be involved in the misunderstanding that he has fulfilled the right Allah had imposed on him? Allah's right, in fact, is so supreme that no creature can ever fulfill and render it truly and fully.

Allah in this command has taught Muslims an eternal lesson: "Do not regard any of your worship, devotion or religious service as something superb; even if you have expended your entire life in the cause of Allah, you should always think that you could not do all that was required of you by your Lord. Likewise, when you attain some victory, you should not regard it as a result of some excellence in yourselves but as a result of only Allah's bounty and favor. Then bowing humbly before your Lord, you should praise and glorify Him, and should repent and beg for His forgiveness instead of boasting and bragging of your success and victory."

[Q: Adakah kita telah memahami apa syarat utama untuk mendapat kejayaan yang hakiki? Dan bagaimana adab bila mendapat kejayaan? ]

Saudara saudari sidang pendengar yang dimuliakan,

Allah SWT menyatakan di dalam Surah Ali-Imran, ayat 110:

“Kamu (Wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat Yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik dan melarang daripada Segala perkara Yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). dan kalaulah ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana Yang semestinya), tentulah (iman) itu menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada Yang beriman dan kebanyakan mereka: orang-orang Yang fasik.”

Pertama, Sebagai umat terbaik (kuntum khaira ummat), sesuai dengan firman Allah dalam Ali ‘Imran ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”

Menurut ayat ini, umat Islam adalah umat yang terbaik daripada sekian banyak umat yang telah diciptakan Allah. Maka umat terbaik inilah yang seharusnya boleh mengubah keadaan masyarakat yang jauh dari Islam, meski tantangan yang dihadapi umat Islam sangat berat.

Kedua, Sebagai umat yang sederhana sifatnya (ummatann wasatho), yaitu umat yang bersifat pertengahan dan neutral dalam menyikapi semua hal di tengah-tengah masyarakat, dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran Islam yang haq, bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah

Ketiga, Sebagai umat yang menjadi saksi atas manusia lain (syuhada’a ‘alan-nas). Islam adalah agama rahmat untuk alam semesta, satu-satunya jalan menuju kebahagiaan manusia. Jika Islam ditegakkan di muka bumi dengan kaedah-kaedah yang benar, maka manusia akan meraih kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tiga tugas dan peranan pemuda dalam membangun kejayaan Islam dan Muslimin, antara lain:

Pertama,

Pemuda sebagai Generasi Penerus, sebagaimana firman Allah SWT:

”Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka” (QS. Ath-Thur 21).

Kedua,

Pemuda sebagai Generasi Pengganti, sebagaimana firman Allah SWT:

”Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintainya” (QS. Al-Ma’idah 54).

Ketiga,

Pemuda Sebagai Generasi Pembaharu (Reformer), sebagaimana firman Allah SWT: ”Ingatlah ketika ia (Ibrahim-pen) berkata kepada bapaknya : “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong sedikitpun” (Qs. Maryam 42).

[Q: Ertinya kita sedang berada didalam acuan yang betul – iaitu acuan Islam, mengapa kejayaan belum kunjung tiba?]


Saudara saudari sidang pendengar yang dimuliakan,

Adakah kita kenal Dzul Qornain?

Para ulama berbeda pendapat pada sebutan Dzul Qornain; namanya, nasabnya, masa hidupnya dan sebab diberikan julukan dengan Dzul Qornain. Terdapat perbedaan pendapat dan ucapan mereka dalam memberikan dalil seputar nama Dzul Qornain, dan sebagian mereka ada yang bersandarkan pada Israiliyat, khurafat dan dongeng serta cerita-cerita bohong belaka.

Ustadz Muhammad Khair Ramadhan Yusuf memberi kesimpulan bahwa: “Dzul Qornain yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dipuji oleh-Nya karena keimanan, kebaikan dan keadilannya, yang termaktub dalam satu surat yang agung, ayat-ayat yang penuh mukjizat dan mulia, kisah sejarah yang jarang namun penuh dengan pelajaran dan ibrah, lengkap dengan nasihat-nasihat, prinsip-prinsip dan hikmah-hikmah.

Bahwa yang demkian merupakan ilmu yang sangat berharga, Allah telah mengekalkannya di dalam kitabnya sehingga berhak mendapatkan julukan al-Quran. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an; bahwa beliau adalah sosok yang selalu berjalan mengitari bumi, sosok yang shalih dan adil, sosok yang khusyu’ dalam beribadah kepada Tuhannya, sosok yang patuh terhadap perintah Allah, sosok yang selalu menebarkan kebaikan di tengah umat manusia, dan sosok yang memiliki kerajaan dari pangkal hingga ujung dunia, sosok yang tidak membuat dirinya terpedaya oleh karena harta, jabatan, kekuasaan, kekuatan dan pemerintahannya namun beliau tetap berdzikir oleh karunia dan rahmat Tuhannya, penuh harap dan cemas menghadapi hari akhir sehingga dapat bertemu dan menikmati ganjarannya kelak dihadapan Allah oleh karena perbuatannya dalam berbuat adil.

Karakteristik Tamkin (Kejayaan) Dalam Diri Dzul Qornain

A. Undang-undangnya yang adil

Bahwa manhaj yang digunakan oleh Dzul Qornain sebagai pemimpin yang beriman adalah komitmennya dengan nilai-nilai keadilan yang mutlak dalam berbagai kondisi dan situasi serta gerak, karena itu beliau berjalan di tengah manusia, umat dan bangsa yang dipimpinnya dengan keadilan, sehingga beliau berinteraksi dengan kaum yang dikalahkan dalam peperangan tidak dengan cara zhalim, jahat, keras dan paksaan namun beliau memperlakukannya dengan manhaj Robbani :

“Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami“. (Al-Kahfi:87-88)

Manhaj robbani yang digunakan ini menunjukkan akan keimanan dan ketaqwannya, kecerdasan dan kepandaiannya, keadilan dan kasih sayangnya; karena manusia yang dikuasai tidak dalam satu tingkatan, tidak dalam satu karakter sehingga tidak boleh diperlakukan dengan sama; diantara mereka ada yang beriman dan diantara mereka yang kafir dan diantara mereka juga ada yang thalih (zhalim). Maka apakah harus disamakan dalam memperlakukannya diantara mereka semua??.

Dzul qornain berkata: Adapun orang yang zhalim dan kafir maka kami akan menyiksanya sesuai dengan kezhaliman dan kekufurannya, dan siksaan ini sebagai balasan untuknya di dunia; dan kami berlaku adil dalam mengazabnya di dunia kemudian semuanya dikembalikan kepada Allah untuk mendapatkan siksa di akhirat.

Bahwa orang yang zhalim dan kejam serta kafir dalam undang-undang Dzul qornain akan mendapat azab dua kali; pertama di dunia dan kedua di akhirat pada hari kiamat; yaitu mendapatkan azab dari Allah dengan siksaan yang pedih.

Adapun orang yang beriman dan shalih, maka mereka adalah orang yang dekat dengan Dzul qornain, mendapatkan balasan yang baik, diberikan tempat yang terbaik serta mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan-kemudahan, perlindungan dan kasih sayang.

Adapun timbangan keadilan yang digunakan oleh Dzul Qornain dalam kepemimpinannya di tengah umat adalah taqwa, iman dan amal shalih, dan selalu memantau kondisi umat secara baik.

Manhaj Tarbawi Di Tengah Umat

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan penerapan hukum dunia bagi siapa yang melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, dan memberikan tugas kepada para ahlu iman yang berkuasa dan mendapatkan kejayaan di muka bumi untuk berambisi menerapkan hukuman kepada orang yang melakukan kerusakan dan kezhaliman sehingga kehidupan di dunia ini menjadi lurus dan tentram.

Bahwa Dzul qornain memberikan kepada seluruh penanggungjawab, pemimpin, atau penguasa akan manhaj asasi (fundamental) dan cara nyata untuk membina umat pada jalan lurus dan istiqomah yang berusaha bekerja denganya untuk mewujudkan ubudiyah yang sempurna kepada Allah SWT.

Bahwa tarbiyah amaliyah terhadap pemimpin yang baik akan menjadi motivasi bagi orang yang melakukan kebaikan untuk terus melakukan kebaikan dan bahkan mampu mengekplorasi potensi kebaikannya untuk terus bertambah dan meningkat serta merasakan adanya penghargaan dan penghormatan, dan menjadikan orang-orang yang suka melakukan kajahatan sebagai pecut sehingga mau meninggalkan kejahatannya dan mau bekerja memperluas ruang lingkup kebaikan dan ihsan di tengah masyarakat serta mempersempit ruang lingkup kejahatan hingga pada batas yang sesuai dengan undang-udang pembalasan dan hukuman yang bergantung pada Dzat yang Maha Pemberi Balasan.

Akhlak Kepemimpinan Dzul Qornain

Bahwa syakhsiyah Dzul Qornain memiliki keistimewaan dalam budi pekerti dan akhlaknya yang tinggi yang dapat membantunya dalam mewujudkan risalah dakwah dan jihad dalam kehidupan. Dan diantara inti dari akhlak tersebut adalah:

a. Sabar; Bahwa beliau memiliki kesabaran dalam melakukan perjalanan hidup dan perjuangan yang berat serta berdakwah kepada Allah untuk mengajak manusia menyembah kepada Al-Khaliq; seperti kegigihan beliau dalam melakukan invasi yang diembannya yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam membuat tandzim, berpindah-pindah, bergerak dan memberikan jaminan terbaik kepada masyarakat. Karena itu pekerjaan yang dilakukannya membutuhkan pasukan yang besar, akal yang cerdas, semangat yang bergelora, kesabaran yang besar, persiapan yang matang dan sebab-sebab atau sarana-sarana tertentu yang membawanya pada kemenangan dan kejayaan[1].

b. Bahwa Dzul Qornian memiliki kewibawaan dan kesehajaan: hal tersebut dapat dirasakan oleh seseorang pada saat pertama kali melihatnya, sehingga tidak salah menyangka saat meyakini bahwa dirinya adalah bukan raja yang zhalim dan keras. Seperti ketika beliau berada pada dua tempat dan mendapatkan suatu kaum yang lemah, mereka dapat merasakan akan kesehajaannya, dan mendapatkan di dalam dirinya akan keikhlasan daripada kezhaliman dan kekuatan yang realistis atas mereka sehingga dengan itu mereka bersegera memberikan bantuan; sehingga tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa dirinya bukanlah seorang perusak seperti yang lainnya, dan dalam dirinya memiliki kekuatan dan bekal yang tidak sebanding dengan yang lainnya. [2]

c. Keberanian: bahwa beliau juga memiliki kekuatan hati nun tegar, tidak pernah merasa lemah terhadap beban yang besar dan tanggungjawab yang berat, jika hal tersebut tertuju pada ridha Allah. Karena apa yang dilakukan dalam membangun benteng merupakan pekerjaan yang sangat besar dan karena kaum yang melakukan kerusakan mungkin saja dapat melakukan tindakan merusak kepadanya dan kepada pasukannya, namun beliau melakukan sesuatu yang baru yang tidak pernah terlintas dan terjadi sebelumnya [3].

d. Kepribadian yang seimbang: karena beliau tidak berlebihan dalam mengeksplorasi keberaniannya atas kebijaksanaannya, tidak berkurang kegigihannya atas kasih sayangnya, begitupun dengan keberaniannya atas kelembutannya dan keadilannya, dan bukanlah dunia seluruhnya –yang telah ditundukkan untuknya- cukup untuk memujinya kecuali karena ketawadhuannya, kebersihan hatinya dan kesucian jiwanya.

e. Banyak bersyukur: karena beliau adalah sosok yang hatinya hidup dan lekat dengan Allah SWT, sehingga beliau tidak pernah mabuk oleh kemenangan yang diraih dan indahnya kekuasaan setelah berhasil menundukkan orang-orang yang sombong dan para perusak, namun beliau tetap bersyukur kepada Allah [4] sambil berkata: “Ini adalah rahamat dari Tuhanku”. (Al-Kahfi:98)

f. Hidup sederhana dan tidak berlebihan: karena beliau merasa cukup dengan kondisi hidup sederhana, dan selalu menghindar terhadap harta yang tidak dibutuhkan dan perhiasan yang tidak bermanfaat; Karena itu, ketika kaum yang lemah mengadu kepadanya akan perbuatan merusaka dilakukan oleh kaum yang zhalim dan membawakan kepadanya hadiah yang banyak jika berhasil menyelesaikan permasalahannya, beliau menolak pemberian tersebut; namun beliau membantunya dengan dengan ikhlas dan sederhana, melalui agama dan kebaikan, sambil berkata : “Sesungguhnya yang telah Allah berikan kepadaku dari kerajaan dan kejayaan lebih baik bagiku dari harta yang akan kalian kumpulkan dan apa yang saya miliki lebih baik dari harta yang kalian usahakan” [5].

Sesungguhnya kunci keperibadian Dzul Qornain terwujud dalam keimanannya kepada Allah dan siap menghadapi hari akhir, kecintaannya terhadap keimanan dan kebenciannya terhadap kekufuran dan kemaksiatan dan kecintaannya yang begitu dalam terhadap dakwah kepada Allah. Dan keimanan beliau kepada Allah dan hari akhir tampak jelas dalam kepribadian Dzul Qornain saat Allah berfirman tentangnya:

“Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik”. (Al-Kahfi:95)

Dan Allah juga berfirman:

“Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya”. (Al-Kahfi:87)

Dan firman-Nya:

“Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar”. (Al-Kahfi:98)

Demikianlah bukti-bukti yang menjelaskan bahwa beliau adalah sosok yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir. Dan intisari dari itu semua adalah:

Dan dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kaum yang disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki beberapa karakter, diantaranya:

1. Mereka adalah kaum yang terbelakang; yaitu “suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan” hal tersebut bisa berarti mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain dari kaum lainnya, karena mereka tidak bisa berinteraksi dengan mereka dan tidak pernah belajar, dan mereka terkungkung oleh bahasa mereka sendiri. Atau karena bicara mereka tidak memberikan manfaat bagi orang lain, oleh karena mereka tidak memahami dan tidak bisa berinteraksi secara baik, dan tidak berusaha saling memahami apa yang diucapkan orang lain dan juga tidak mau bekerja oleh karena kekeringan dan kekerasan adat mereka atau karena kebodohan dan keterbelakangan budaya mereka.

2. Mereka adalah kaum yang lemah; karena itulah mereka tidak mampu menghadang serangan yang ingin dilakukan oleh pasukan Ya’juj dan Ma’juj, berdiri tegak di hadapan mereka dan mencegah kerusakan yang mereka lakukan.

3. Mereka adalah kaum yang tidak mampu mempertahankan negeri mereka, melakukan perlawanan serangan pasukan musuh, karena itulah mereka meminta kekuatan lain dari luar; kekuatan Dzul Qornain dengan meminta darinya menyelesaikan masalah dan memberikan bantuan mempertahankan negeri mereka.

4. Mereka adalah kaum yang culas dan malas, tidak mau berusaha dan juga tidak mau berkreasi dalam bekerja, karena itulah mereka menyerahkan permasalahan kepada Dzul Qornaun dan mewakili segala urusannya, sementara mereka siap untuk membayar apa yang dikerjakan dengan harta yang dimiliki [5].

Adapun fiqh Dzul Qornain dalam berinteraksi dengan umat atau bangsa-bangsa yang lemah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memindahkan mereka dari kebodohan, keterbelakangan, kemalasan dan kelemahan akan ilmu, kemajuan, kesesungguhan dan kekuatan.

Dzul Qornain memiliki perhatian penuh terhadap kemaslahatan manusia, memberikan nasihat kepada mereka terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Karena itulah, beliau meminta bantuan tenaga yang bertujaun untuk menggiatkan mereka dan mengangkat moral mereka.

Dan diantara nasihatnya dan keikhlasannya untuk umat adalah bahwa Dzul Qornain memberikan bantuan dan khidmah lebih banyak dari apa yang mereka minta [7]; bahwa mereka meminta dibuatkan tembok yang memisahkan antara mereka dengan para pelaku pengrusakan, adapun Dzul Qornain berjanji untuk membuatkan kepada mereka rodman; benteng penghalang dan hijab (tembok) yang kuat, dan hal tersebut lebih besar bentuknya dan manfaatnya daripada sad (benteng biasa) dan lebih kokoh, dia menjanjikan lebih dari apa yang mereka harapkan [8].

Dzul Qornain tidak mengambil harta orang-orang lemah namun beliau tetap mengajarkan kepada mereka berbagai aktifitas yang bermanfaat, kegiatan, kerja dan usaha. Beliau berkata kepada mereka: “Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka”. (Al-Kahfi:95)

Bahwa ungkapan Al-Qurna ini merupakan karakter yang gamblang dalam rangka memobilisasi dan memotivasi semangat kerja dan menyatukan potensi yang mereka miliki, serta mengekplorasi kemampuan dan kekuatan yang ada dalam jiwa mereka.

Karena itu; pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mampu mengeksplorasi potensi masyarakat dan mengarahkannya menuju kesempurnaan guna mewujudkan kebaikan dan tujuan yang diidam-idamkan.

Bahwa seluruh masyarakat pasti memiliki ragam kemampuan dalam berbagai sisi yang bermacam-macam; baik pemikiran, harta, konsep dan system dan kekuatan materi, lalu hadir peranan pemimpin robbani di tengah umat untuk mengikat mereka pada rencana, konsep dan administrasi antara kecendrungan dan potensi dan mengarahkannya menuju kebaikan umat dan kemuliaannya.

Bahwa umat Islam -saat ini- juga penuh dengan keahlian yang hilang dan potensi yang terabaikan, harta yang teracuhkan, waktu yang terbuang, pemuda yang kebingungan, umat yang menunggu pemimpinnya diberbagai kota, negara atau daerah, sehingga dengan demikian, perlu kiranya mengambil kaidah Dzul Qornain dalam menyatukan, mengurusi dan tolong menolong, serta memerangi kebodohan, kemalasan dan keterbelakangan. “Maka bantulah aku dengan potensi yang kalian miliki”.

Dan Dzulqornain menolak menganggap kaum yang lemah sebagai pemalas. Syaikh Mutawalli Sya’rawi berkata: “Hal demikian memberikan kita perhatian bahwa Allah SWT memberikan kemampuan, dan poetnsi yang besar pada setiap orang.. kemampuan yang tidak bisa dimiliki kecuali karena kehendak Allah dengan berbagai sarana yang membantu dalam menunaikan tugas dan pekerjaan, adapun yang dimaksud potensi diri yaitu kekuatan jiwa yang terdapat dalam diri sehingga melahirkan kemampuan untuk bekerja, dan kebanyakan dari kita tidak sadar adanya kemampuan diri, tidak sadar bahwa dalam dirinya memiliki kekuatan yang mampu untuk bekerja dan pekerjaan yang banyak, potensi ini tidak mau difungsikan secara maksimal padahal dirinya memiliki kekuatan dan kelebihan seperti kemampuan memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain…dan melakukan pekerjaan yang banyak dan bermanfaat.

Potensi inilah yang yang sering diabaikan oleh manusia dalam jumlah yang sangat besar, tidak difungsikan secara maksimal, padahal setiap orang pasti bisa melakukan berbagai pekerjaan, dan dihadapannya terdapat banyak sarana yang dapat dilakukan oleh potensi yang dimiliki; namun hal tersebut tidak disadari dan tidak difungsikan secara baik; dirinya memiliki potensi untuk berfikir, jika dilatih terus dengan ilmu pengetahuan maka akan membuka banyak pintu untuk mendapatkan rizki; namun dirinya telah dirasuki rasa malas untuk berfikir dan tidak difungsikan untuk dikembangkan dan ditumbuhkan.

Apa yang dilakukan oleh Dzulqornain?

Beliau tidak meminta bantuan terhadap balatentaranya yang besar dan juga terhadap penduduk lainnya. Namun beliau meminta dari kaum itu sendiri yang saat itu lemah, beliau meminta kepada mereka untuk menghadirkan kepadanya besi lalu membangun benteng hingga dapat mencapai dua puncak gunung, kemudian beliau membuat pancang besi dan mengisinya dengan tembaga sehingga menjadi benteng yang sangat kuat dan kokoh.

Jadi yang dilakukan oleh Dzulqornain adalah memfungsikan potensi dari kaum yang lemah, yang akan diserang oleh Ya’juj dan Ma’juj; yaitu dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana memfungsikan potensi yang mereka miliki dan bagaimana membangun benteng; dengan cara mengajak mereka ikut serta dalam membuatnya dan mendirikannya, sehingga ada peran serta dan kontribusi dalam membangun benteng tersebut, dan Dzulqornain hanya membantu dalam hal pengalaman dan ilmunya saja sehingga mereka memiliki rasa tsiqoh dalam diri mereka; bahwa mereka memiliki kemampuan melindungi diri, dan belajar terhadap sesuatu yang dapat membantu dan melindungi mereka.

Dan Islam melarang kita untuk membiasakan manusia pada kemalasan atau memberikan uang atau sesuatu tanpa pekerjaan, karena yang demikian akan merusak jiwa umat, karena setiap manusia yang diberikan upah sebelum bekerja maka akan terbiasa nrimo dan selamanya tidak akan mampu melakukan pekerjaan secara baik [1].

Bahwa Dzulqornain melakukan tugas sebagai pemimpin yang menguasai negeri, sehingga memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikannya memiliki kemampuan untuk diri dari serangan musuh dan tidak bergantung pada perlindungan orang lain, dan juga tidak membiarkan manusia bermalas-malasan; namun berusaha mengubah mereka menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh dan giat dalam bekerja [2].

Bahwa Al-Quran Al-Karim selalu mengajarkan dan memberikan petunjuk kepada kita menuju keselamatan yaitu perintah untuk selalu komitmen dengan manhaj Allah dan menjadikan jalan yang baik dan benar serta sungguh-sungguh baik dalam berjihad, berperang, mengerahkan kekuatan dan menggunakan ilmu yang mutakhir sehingga umat berhak mendapatkan rahmat Allah. Dan umat hendaknya meninggalkan angan-angan dan mimpi yang menipu, hendaknya aktif dalam kerja, mengerahkan potensi, berjihad dan menggapai syahadah. Seperti halnya kaum yang lemah, lalu mau bergerak melakukan pekerjaan dengan pimpinan Dzulqornain maka mereka mendapatkan tujuan yang mereka cita-citakan, keinginan yang mereka idamkan.

Bahwa sejarah perjalanan hidup Dzul Qornain dalam kepemimpinannya merupakan sejarah peradaban robbani yang unik bagi manusia pada masa hidupnya, dan memberikan gambaran yang jelas akan perjalanan hidup manusia yang kuat, beriman dan berilmu, yang mampu mengemban amanah, menjalankan dan melaksanakannya dengan baik sehingga mampu menguasai berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu negara, prajurit dan pengikutnya, menguasai berbagai ilmu, sarana dan sebab-sebabnya untuk meng-Agungkan syariat Allah, menegakkan agama-Nya, melayani umat dan meninggikan kalimat (agama) Allah, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dan dari beribadah kepada manusia dan materi menuju ibadah kepada Allah semata

Dan hal tersebut juga telah dilakukan dan diterapkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya –khususnya para khulafa rasyidun- setelahnya, melintasi jalan petunjuk dan arahan yang sama seperti yang digariskan oleh Al-Qur’an. Bahwa mereka telah menerapkan firman Allah SWT:

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.

Bahwa dengan iman yang bersih dan kokoh, amal yang salih, sirah yang lurus, tujuan-tujuan yang baik, dakwah kepada Allah yang benar serta memfungsikan segala potensi yang diberikan secara baik; yaitu ilmu dan hikmah, maka akan mampu menjadikan peradaban robbani memiliki pondasi yang kokoh; seperti akidah yang benar yang terpancar darinya nilai-nilai, prinsip-prinsip serta akhlak Robbani yang dapat memberikan kebahagiaan kepada seluruh umat baik di dunia maupun di akhirat.

Bahwa peradaban insan yang mulia akan mampu diwujudkan dengan baik ketika berada dalam naungan agama Islam, dan dengan demikian kita mengetahui bahwa peradaban robbani adalah: “Berkesesuainnya aktivitas manusia untuk jamaah yang satu menuju khilafah Allah di muka bumi disepanjang jaman, dan sesuai dengan konsep Islam tentang kehidupan, bumi dan manusia”. [3]

Dan pemahaman ini harus terus tersosialisasi sehingga dapat bersatu pada bagian-bagiannya berbagai halaqoh peradaban robbani yang beragam yang telah muncul sejak awal kehidupan sejarah, sepanjang perjalanan para nabi dan rasul serta orang-orang beriman, bahkan tersosialisasi pada halaqoh masa awal Islam; yaitu pada masa nabi saw dan berbagai perisitwa yang mengiringinnya.

Demikian awal peradaban robbani menjadi peradaban global, yang telah memberikan petunjuk dalam berbagai interaksi umat dan bangsa sehingga tetap berada dibawah syariat Allah SWT, dan menerima para penerusnya dari seluruh umat manusia di dunia; baik yang berwarna hitam, kuning langsat, dan putih, sesuai dengan manhaj robbani dan hukum-hukumnya. Berusaha memberikan pelayanan yang maksimal kepada umat manusia dan memberikan kebahagiaan kepada mereka hingga seluruh negeri yang terbentang di seluruh penjuru dunia, sehingga berada dalam satu peradaban kauniyah yang mulia dibawah naungan keagungan Allah SWT, mensucikan pundamentalnya kepada Dzat Pencipta, Dzat Yang Maha Mengetahui, dan Dzat Pemelihara seluruh ciptaan-Nya [4].

Allah berfirman:

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. (Al-Isra:44)

Dan jika kita renungkan dan tadabburkan firman Allah:

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-Isra:1-3)

Pelajaran, ibrah dan hikmah yang dapat dipetik dari kisah Dzul Qornain.

Bahwa kisah Dzul Qornain memiliki banyak pelajaran, hukum, adab, nilai-nilai dan faedah-faedah yang banyak, diantaranya adalah:

1. Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan sebagian lainnya, dan memberinya rezki kepada siapa yang di-Kehendaki tanpa perhitungan; baik rizki berupa kedudukan (raja/pemimpin) dan harta, karena Allah pemilik segalanya, dan tiada tuhan selain-Nya.

2. Isyarat untuk melakukan sesuatu karena adanya sebab-sebab, dan harus berdiri dibelakang sunnah Allah dalam melakukan berbagai aktivitas dan kerja, dan memiliki keyakinan bahwa dengan melakukan kerja secara sungguh-sungguh akan berbuah pada kemenangan dan keberuntungan. Dan apa yang dikisahkan Allah kepada kita tentang sirah Dzul Qornain merupakan contoh akan usaha beliau yang sungguh-sungguh di muka bumi dari timur hingga barat, dari arah kanan dan kiri, dan tidak pernah bosan melakukannya, perasaan mendapatkan kenikmatan saat berhasil melaksanakan tugas dan menghadang berbagai rintangan, melintasi jalan dan lautan kemudian menembus hingga ujung dunia, tidak pernah berhenti dan merasa lelah; merupakan pelajaran yang sangat besar dan berharga bagi siapa saja yang memiliki akal.

3. Memfungsikan keinginan dan azimah untuk menghilangkan berbagai rintangan. Sekalipun sebab-sebab yang dihadapi tidak mudah dan sulit, maka tidak selayaknya berpangku tangan dan tidak memiliki usaha yang maksimal, dengan alasan malas dan menyerah dengan kondisi, namun selayaknya tetap memiliki semangat untuk merasakan pahit dan manisnya suatu kerja keras dan usaha, terutama saat melakukan istirahat dan masa tenang.

4. Wajib bersegera melakukan kerja untuk meraih puncak tertinggi.

5. Bahwa kemampuan mengalahkan musuh dan menguasai mereka tidak seharusnya membuat seseorang mabuk kepayang dengan kenikmatan dan kekuasaan sehingga terjerumus pada kemaksiatan dan kehinaan, menarik dirinya kepada arus penghambaan harta dan jabatan dan keterpurukan pada kehidupan duniawi serta memperlakukan orang yang dikalahkan sebagai budak dan tawanan, namun hendaknya harus memperlakukan orang yang baik dengan kebaikannya dan orang yang jahat dengan kadar kejahatannya.

6. Bahwa seorang raja jika ada yang mengadu kepadanya adanya tindak kejahatan, maka harus segera berusaha dengan kemampuannya memberikan rasa tenang dan keamanan untuk mempertahankan negeri yang dicintai dari berbagai tindak kejahatan tersebut, menjamin akan adanya kebebasan, kemerdekaan dan tamaddun (kelanggengan) dari kehancuran dan kerusakan, sebagai kewajiban menolak kezhaliman dan menegakkan keadilan di seluruh dunia.

7. Seorang raja hendaknya memiliki sifat amanah dan berhati-hati dalam mengelola harta warganya, zuhd dalam mengambil upah sesuai tugas yang dikerjakannya, sehingga dengan demikian menjaga kehormatannya dan menambah kecintaan warga terhadap dirinya.

8. Selalu mengingat akan nikmat Allah jika telah selesai menunaikan tugas.

9. Memperkokoh dan memperkuat benteng sesuai dengan dasar keilmuan dan studi lapangansecara benar, sehingga dapat memberikan manfaat yang banyak sepanjang masa dan waktu.

10. Seorang pemimpin atau raja hendak aktif dalam mengikuti kerja yang dilakukan oleh warga dan rakyatnya, memantau sendiri aktivitas yang sedang dilakukan sehingga menambah semangat orang yang sedang bekerja.

11. Mengingatkan orang lain dan memberikan pemahaman kepada mereka buah dari pekerjaan yang dilakukan, sehingga merasakan adanya rahmat Allah SWT di dalamnya.

12. Menghadirkan adanya Allah ditengah mereka, dan memberikan perasaan bahwa kenikmatan dunia akan sirna dan hilang sesuai dengan kehendak Allah.

13. Mengajarkan untuk selalu memuji dan menginggalkan atsar yang baik. Sebagaimana yang kita dapatkan bahwa ayat-ayat yang mulia menjelaskan akan akhlak Dzul Qornain yang mulia seperti keberanian, kesucian, keadilan, semangat dalam menebarkan keamanan dan kebaikan kepada orang yang berbuat kebaikan dan mengganjar orang-orang yang berbuat kezhaliman.

14. Perhatian pada persatuan kepada orang yang memiliki pengaruh di tengah umat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dzul Qornain, bahwa beliau selalu berusaha menyatukan kata di tengah umat dan membaurkan umat yang beragam sehingga mengikat mereka dengan manhaj robbani dan syariat samawi[6].

Dengan demikian kita mendapatkan pelarajan dan ibrah serta hikmah yang berharga dari kisah-kisah Al-Qur’an, khususnya kisah tentang Dzul Qornain. Dan kisah ini menutup pembahasan tentang tema mendirikan daulah, dan akan kita lanjutkan pada pembahasan yang lainnay insya Allah; Syarat-syarat Tamkin dan sebab-sebabnya.

[Q: Terlalu banyak pengajaran di dalam kisah Dzul Qornain di dalam Surah Al-Kahfi. Kita perlu merenung dan memikirkan pengajaran2nya. Apa kisah yang paling anda ingati?]

Saudara Saudari yang dikasihi,

Bahwa khilafah di muka bumi dan tamkin (kejayaan) pada agama Allah dan mengganti rasa takut dengan ketenangan dan keamanan adalah merupakan janji dari Allah SWT pada saat umat Islam mampu mewujudkan syarat-syaratnya. Dan Al-Quran telah menegaskan dengan jelas akan syarat-syarat tamkin dan keharusan menjaganya sepanjang masa.

Allah SWT berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (An-Nuur:55-56)

Al-Qur’an Al-Karim telah menegaskan bahwa diantara syarat-syarat tamkin adalah Iman dengan seluruh makna dan rukun-rukunya, aktif dalam melakukan amal shalih dengan berbagai macam dan bentuknya, semangat dalam melakukan amal kebajikan dan ragam perbaikan, mewujudkan hakikat ubudiyah secara integral dan menyeluruh, memerangi kemusyrikan dengan berbagai macam bentuk dan ragamnya. Sedangkan keharusan untuk menjaga tamkin tersebut adalah dengan mendirikan shalat, membayar zakat dan mentaati Rasulullah saw.

Adapun yang berhubungan dengan sebab-sebab tamkin, Allah telah memerintahkan untuk melakukan persiapan yang menyeluruh seperti dalam firman Allah :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat”. (Al-Anfal:60)

Melakukan persiapan pada hakikatnya merupakan upaya mengambil sebab-sebab, karena itu yang diminta untuk melakukan persiapan seperti dalam pemahaman ayat diatas adalah secara menyeluruh; karena kalimat Quwwah (kekuatan) diatas disebutkan dalam bentuk perintah dengan shighat nakirah (bentuk umum), sehingga mencakup berbagai kekuatan; kekuatan aqidah dan iman, kekuatan barisan dan pasukan, dan kekuatan senjata dan logistik.

Ayat diatas juga memberikan isyarat kepada umat Islam; untuk membuka wawasan agar melakukan persiapan secara menyeluruh; persiapan materil maupun inmateril, jiwa maupun harta, zhahir maupun bathin, ilmu dan fiqh; pada tingkatan individu maupun jamaah. Begitu pula masuk pada persiapan tarbawi, suluki (prilaku) dan persiapan mali (harta), telekomunikasi, politik, keamanan dan militer serta persiapan-persiapan lainnya.

Saudara saudari yang dimuliakan

Sebagai kesimpulan, untuk mendapat kejayaan hakiki, hendaklah kita kembali kepada taat dan tunduk kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Ar-Rasul SAW sebaiknya. InsyAllah kejayaan akan datang kepada kita, di sudut peribadi, keluarga, masyarakat dan Negara, insyAllah.

Sekian dahulu. WabiLlahi Taufiq Wal Hidayah Wassalammualaikum WaramatuLlah Wbth.

Allahua’lam

Wassalam

Khamis, Montpellier – Rue De La Vielle Intendance

_____________________________________________________________________

Rujukan:

http://www.al-ikhwan.net/ Serial Fiqh Kemenangan dan Kejayaan Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah (2) Makna Kejayaan Dalam Islam. [Dr. Ali Muhammad As-Slaaby]

http://www.englishtafsir.com/Quran/110/index.html Tafseer Al-Maududi - Surah An-Nashr

http://voa-islam.org/news/indonesia/2010/11/10/11808/pemuda-harus-siap-hadapi-tantangan-zaman-dalam-membangun-kejayaan-islam/

No comments:

Post a Comment